Senin, 28 September 2015

Catatan kematianku

Sam terbangun tengah malam dan mendapati jendela kamarnya sudah terbuka lebar. Padahal, ia ingat sekali sudah menguncinya sebelum tidur. Angin menerbangkan tirai, menyibak dan menariknya seperti gerai rambut panjang yang terayun-ayun. Bayangan ranting pohon layaknya tangan yang hendak mencengkeram, menggapai-gapai dalam warna gelap. Semilir angin bertiup pelan, membelai atap dan tembok rumah. Tiba-tiba saja hati Sam tak tenang. Perasaan seperti ini sering muncul dan biasanya ada sesuatu yang terjadi pada adiknya, Maya.
Sam bergegas keluar dari kamarnya. Dia semakin cemas setelah mengetahui kamar Maya kosong.
“Maya…” teriaknya. Sam memeriksa semua ruangan, tapi Maya tidak ada di sana. Lalu dia melihat pintu samping terbuka. Ada bercak-bercak darah di lantai teras. Sam mengikuti tetesan-tetesan darah itu dengan perasaan yang tidak menentu.
“Apa yang telah dilakukan Maya kali ini?” batinnya.
Bercak darah itu berhenti di sebuah lorong sempit, perbatasan antara sebuah kampus tua dan sekolah tinggi kesehatan. Sam melihat gadis mengenakan masker penutup mulut berdiri di sana. Jeans dan kaos oblong dikenakannya sedikit sobek-sobek. Sam sulit mengenalinya karena udara tampak berkabut.
“Maya?” gumamnya pelan, “Apakah itu Maya?” lanjutnya dalam hati.
“Maya? Kamu di sini?” Sam akhirnya memberanikan diri untuk berteriak. Gadis itu menoleh. Dia tampak kaget dengan kehadiran Sam dan terburu-buru memalingkan mukanya.
“Maya, tunggu!!” Sam menghampiri gadis itu. Tapi ternyata itu bukan Maya. Sam terlihat kikuk karena telah mengira gadis itu adiknya, Maya.
“Maaf,” kata Sam. Gadis itu hanya tersenyum, tapi Sam tidak bisa melihat senyumnya karena tertutup masker.
“Kamu mau kemana?” tanya Sam kemudian.
“Aku mau ke kampus,” jawab gadis itu pelan.
Sam mengerutkan keningnya, “ke kampus semalam ini?”
“Aku ingin menyelamatkan kucing-kucingku.” Gadis itu melangkah pergi. 
“Tunggu!” Gadis itu tidak menghiraukan Sam. Dia berjalan lebih cepat. Sam mengikutinya dari belakang tanpa sepengetahuan gadis itu. Rasa penasaran merasuki pikiran Sam.
Meeoooonggg…meeoooonnnngg….”                                             Suara anak kucing berwarna kecoklatan tadi malam masih terngiang-ngiang di benak Sam.  Sam melihat anak kucing itu meratapi ibunya yang telah terkapar tak berdaya. Mulut induk kucing itu terbelah dari satu kuping ke kuping. Begitu juga dengan perutnya yang robek. Ususnya beruraian di lantai aula kampus. Sepertinya ada orang yang sengaja melakukan pembedahan pada induk kucing milik gadis itu.
Sam juga melihat gadis itu memasukkan induk kucing ke dalam kantong plastik hitam sambil menangis dan membelai lembut anak kucingnya yang terus mengeong tanpa henti. Gadis itu terlihat sangat menyayangi kucing-kucingnya. Dia memeluk anak kucingnya erat. Lalu menembus pekatnya malam.
Alunan musik di kamar Maya menyadarkan Sam dari lamunannya. Maya sudah bangun, pikirnya. Semalam, sepulang dari kampus dan melihat pembantaian kucing gadis bermasker itu, Sam pulang dan mendapati Maya sedang menonton televisi. Sam menanyakan darimana Maya dari tadi dia cari tapi tidak ada.
“Dari rumah berbukit,” jawab Maya santai. Fiuuhh, Sam tampak kecewa. Dia lupa mencari Maya di rumah yang ia sebut rumah berbukit. Rumah itu terletak di pinggir sungai Musi namun datarannya terlihat sangat tinggi, tampak berbukit daripada rumah di sekitarnya. Rumah berbukit adalah rumah peninggalan almarhum kakeknya. Tidak ada yang tinggal di sana, hanya Maya yang dengan senang hati merawat rumah itu. Setiap hari ia selalu mengelap berbagai perabot yang tersisa, terutama sebuah senapan dan keris tua milik kakek. Dia rawat dengan hati-hati tanpa ada yang boleh menyentuhnya, termasuk Sam.
“Ngapain?” tanya Sam.
“Mencari inspirasi. Lihat, Maya baru saja menyelesaikan cerpen tentang pembantaian kucing.” Maya menunjukkan buku kecil di tangannya. Buku itu selalu di bawahnya kemanapun dia pergi.
“Pembantaian kucing?” Sam kembali teringat kejadian di kampus dan perempuan bermasker.
“Iya. Ini cerita yang sangat mengharukan. Kucing-kucing dibantai dengan kejam oleh majikannya sendiri,” Maya bercerita dengan antusias. Sam memandang adiknya dengan curiga. Bagaimana bisa sama persis, batin Sam.
“Tapi anehnya, majikannya malah menangisi kematian kucingnya. Dia seolah merasa  kehilangan, namun sebenarnya dia menyukai pembantaian itu. Dia menikmatinya, seperti saat dia membelah perut ikan patin untuk dia masak pindang.” lanjut Maya. Sam kembali ingat peristiwa yang baru dilihatnya tadi, pembantaian kucing, dan gadis itu menangis. 
“Apakah mungkin gadis bermasker itu sendiri yang membunuh kucingnya?” batin Sam. Perutnya terasa mual membayangkan perut si kucing dibelah hidup-hidup. Sungguh kejam, gumam Sam dalam hati.
“Kakak kenapa?” tanya Maya. Sam mengelap hidungnya, hal yang biasa dia lakukan bila salah tingkah. Sam terlihat kikuk. 
“Oh, tidak. Kakak hanya sedikit kaget dengan cerita kamu. Nice story,” Sam menjawab asal. 
Maya tersenyum malu-malu.  Ini bukan pertama kalinya Sam memuji tulisannya. Beberapa bulan yang lalu Sam memuji tulisannya yang berjudul “Misteri Satpam Pasar” yang menceritakan tentang seorang satpam pasar yang mati bergelantungan di atas kelenteng tua terletak tepat di pinggiran sungai Musi. Memang terdengar sangat kriminal, tapi itulah Maya. Dia bisa membuat cerita menjadi seolah-olah nyata. Bahkan menjadi nyata. Sam memeluk adik semata wayangnya itu. Dalam hati ia berharap adiknya akan baik-baik saja.

Sam kembali terbangun dari tidurnya dan langsung memeriksa kamar adiknya. Kebiasaan ini seolah menjadi ritual yang amat penting dalam hidupnya semenjak Maya sering menghilang di malam hari beberapa tahun belakangan. Kamar Maya kosong, Sam berlarian keluar rumah. Di benak Sam hanya ada satu tempat, rumah berbukit!
Rumah panggung tua itu tampak sunyi. Tidak ada temaram lampu di terasnya. Yang ada hanya alunan pelan musik-musik klasik kesukaan Maya. Sam mencoba untuk masuk. Pintu tidak dikunci. Dilihatnya bercak-bercak darah berhamburan seperti tetesan tinta. Bau anyirnya menyengat. Sam mulai galau. Apa yang terjadi denganmu, Maya, batinnya. Sam masuk ke dalam rumah.
“Maya?” Sam berteriak kaget ketika melihat gadis yang berdiri membelakanginya sedang memegang pisau yang berlumur darah. Dia terlihat sangat ketakutan. Gadis itu berbalik, ternyata dia bukan Maya. Dia gadis bermasker itu!
“Apa yang kamu lakukan? Dimana Maya?” teriak Sam penuh amarah. Sam membuka semua pintu ruangan mencari adiknya. Sam terlihat seperti kerasukan. Dia sangat mengkhawatirkan adiknya. Seluruh ruangan kosong. Tak dia dapati adiknya di sana. Kemana Maya? Sam masuk ke ruang perpustakaan milik Maya. Buku-buku berserakan di sana sini padahal Sam tahu, Maya sangat menyukai buku-bukunya tersusun rapi. Apa tadi Maya terbangun dan menulis di sini, tapi dimana dia sekarang? Sam menemukan buku catatan yang sering Maya bawa terbuka. Buku itu mengundang perhatian. Pelan-pelan dia dekati buku itu, meraihnya. Matanya tiba-tiba perih. Cerita itu, cerita yang ditulis Maya tentang gadis bermasker, namun belum selesai.
Sam berbalik ke arah gadis bermasker. Gadis itu menyeret Maya yang berlumur darah dari bawah meja besar. Sepertinya dia hendak membuang Maya. Darah segar membekas seperti jalan setapak. 
“Maya?” lutut Sam langsung lemas melihat adiknya yang sudah terkapar tak berdaya. Sam memeriksa nadinya. Maya sudah tidak bernyawa. Wajahnya pucat, ketakutan.
“Apa yang kamu lakukan dengan Maya?” Sam menatap gadis bermasker dengan sinis. Kesabaran Sam telah menguap entah kemana. Baginya Maya adalah segalanya dalam hidup Sam.
Gadis itu menangis. Dia benar-benar menangis seolah kehilangan. Gadis itu menutupi kedua matanya dengan telapak tangan yang berlumur darah segar. Tetesan air mata yang bercampur darah segar terlihat seperti hujan darah yang sangat memilukan. Sam tampak kebingungan. 
“Aku telah membunuhnya….hiks,” gadis itu kembali menangis. Sam menamparnya, hendak memukulnya habis-habisan, tapi dia sadar gadis itu adalah seorang perempuan. Dia tidak boleh melakukan itu. Dia tidak ingin seperti ayahnya yang berperilaku kasar terhadap ibunya, memukulnya, menamparnya, menendangnya dan menembaknya. Maya dan Sam menyaksikan ibunya terkapar dan berlumur darah di hadapan ayahnya. Saat itu Sam tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa memeluk erat adiknya Maya yang mematung memandangi Ayahnya yang ketakutan. Dadanya berguncang hebat, tapi Maya tidak menangis. Maya tidak terlihat mengeluarkan air matanya. 
“Maafkan aku, Sam,” gadis itu kembali berbicara. 
“Aku sudah muak dengan cerita-cerita adikmu. Dia membunuh semua kucing dan kelinciku. Dia membunuh ayahku dan menggantungnya di atas kelenteng. Dan kau lihat ini, Sam,” gadis itu membuka maskernya. Mulut gadis itu terlihat sangat lebar, terbelah dari kuping ke kuping. Sam sangat kaget melihatnya.
“Ini semua ulah adikmu, hiks….” gadis itu kembali menangis. Kali ini dia menangis histeris. Mengobrak-abrik semua yang ada di sekitarnya. Sam ketakutan, tapi dia tidak percaya dengan apa yang gadis itu katakan. Sam kembali ingat cerita Maya. Majikan itu membunuh kucingnya dengan kejam. Tapi majikan itu menangis, seolah dia merasa kehilangan…
“Tidak! Kamu bohong! Maya tidak mungkin melakukan itu,” Sam berteriak. Suaranya parau.
“Kau perlu bukti?” gadis itu bergegas mengambil buku catatan milik Maya di dalam perpustakaan. Dia membuka lembar-lembarnya dengan paksa. 
“Adikmu yang psikopat itu ingin menyelesaikan ceritanya tentang aku, Sam. Kamu lihat ini, Sam!” gadis itu menunjukkan sebuah judul “Kuchisake-onna (Wanita Bermulut Robek)” kepada Sam.
***
Sam kembali membaca lembar demi lembar cerita yang adiknya tulis. Buku catatan itu semua berisi cerita-cerita yang menyeramkan, pembunuhan, pembantaian, dan pembedahan. Maya memerankan Silvi, gadis bermasker itu sebagai kuchisake-onna (wanita bermulut robek) sejenis siluman dalam mitologi dalam legenda urban Jepang.
Sam tergugu, dia gagal mendidik adiknya. Dia sama gagalnya dengan ayahnya yang gagal mendidik anak-anaknya. Namun hari ini, matahari tampak cerah. Seolah menyinari relung-relung hati Sam. Menghapus semua kekhawatirannya bila malam tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar