Senin, 28 September 2015

Catatan kematianku

Sam terbangun tengah malam dan mendapati jendela kamarnya sudah terbuka lebar. Padahal, ia ingat sekali sudah menguncinya sebelum tidur. Angin menerbangkan tirai, menyibak dan menariknya seperti gerai rambut panjang yang terayun-ayun. Bayangan ranting pohon layaknya tangan yang hendak mencengkeram, menggapai-gapai dalam warna gelap. Semilir angin bertiup pelan, membelai atap dan tembok rumah. Tiba-tiba saja hati Sam tak tenang. Perasaan seperti ini sering muncul dan biasanya ada sesuatu yang terjadi pada adiknya, Maya.
Sam bergegas keluar dari kamarnya. Dia semakin cemas setelah mengetahui kamar Maya kosong.
“Maya…” teriaknya. Sam memeriksa semua ruangan, tapi Maya tidak ada di sana. Lalu dia melihat pintu samping terbuka. Ada bercak-bercak darah di lantai teras. Sam mengikuti tetesan-tetesan darah itu dengan perasaan yang tidak menentu.
“Apa yang telah dilakukan Maya kali ini?” batinnya.
Bercak darah itu berhenti di sebuah lorong sempit, perbatasan antara sebuah kampus tua dan sekolah tinggi kesehatan. Sam melihat gadis mengenakan masker penutup mulut berdiri di sana. Jeans dan kaos oblong dikenakannya sedikit sobek-sobek. Sam sulit mengenalinya karena udara tampak berkabut.
“Maya?” gumamnya pelan, “Apakah itu Maya?” lanjutnya dalam hati.
“Maya? Kamu di sini?” Sam akhirnya memberanikan diri untuk berteriak. Gadis itu menoleh. Dia tampak kaget dengan kehadiran Sam dan terburu-buru memalingkan mukanya.
“Maya, tunggu!!” Sam menghampiri gadis itu. Tapi ternyata itu bukan Maya. Sam terlihat kikuk karena telah mengira gadis itu adiknya, Maya.
“Maaf,” kata Sam. Gadis itu hanya tersenyum, tapi Sam tidak bisa melihat senyumnya karena tertutup masker.
“Kamu mau kemana?” tanya Sam kemudian.
“Aku mau ke kampus,” jawab gadis itu pelan.
Sam mengerutkan keningnya, “ke kampus semalam ini?”
“Aku ingin menyelamatkan kucing-kucingku.” Gadis itu melangkah pergi. 
“Tunggu!” Gadis itu tidak menghiraukan Sam. Dia berjalan lebih cepat. Sam mengikutinya dari belakang tanpa sepengetahuan gadis itu. Rasa penasaran merasuki pikiran Sam.
Meeoooonggg…meeoooonnnngg….”                                             Suara anak kucing berwarna kecoklatan tadi malam masih terngiang-ngiang di benak Sam.  Sam melihat anak kucing itu meratapi ibunya yang telah terkapar tak berdaya. Mulut induk kucing itu terbelah dari satu kuping ke kuping. Begitu juga dengan perutnya yang robek. Ususnya beruraian di lantai aula kampus. Sepertinya ada orang yang sengaja melakukan pembedahan pada induk kucing milik gadis itu.
Sam juga melihat gadis itu memasukkan induk kucing ke dalam kantong plastik hitam sambil menangis dan membelai lembut anak kucingnya yang terus mengeong tanpa henti. Gadis itu terlihat sangat menyayangi kucing-kucingnya. Dia memeluk anak kucingnya erat. Lalu menembus pekatnya malam.
Alunan musik di kamar Maya menyadarkan Sam dari lamunannya. Maya sudah bangun, pikirnya. Semalam, sepulang dari kampus dan melihat pembantaian kucing gadis bermasker itu, Sam pulang dan mendapati Maya sedang menonton televisi. Sam menanyakan darimana Maya dari tadi dia cari tapi tidak ada.
“Dari rumah berbukit,” jawab Maya santai. Fiuuhh, Sam tampak kecewa. Dia lupa mencari Maya di rumah yang ia sebut rumah berbukit. Rumah itu terletak di pinggir sungai Musi namun datarannya terlihat sangat tinggi, tampak berbukit daripada rumah di sekitarnya. Rumah berbukit adalah rumah peninggalan almarhum kakeknya. Tidak ada yang tinggal di sana, hanya Maya yang dengan senang hati merawat rumah itu. Setiap hari ia selalu mengelap berbagai perabot yang tersisa, terutama sebuah senapan dan keris tua milik kakek. Dia rawat dengan hati-hati tanpa ada yang boleh menyentuhnya, termasuk Sam.
“Ngapain?” tanya Sam.
“Mencari inspirasi. Lihat, Maya baru saja menyelesaikan cerpen tentang pembantaian kucing.” Maya menunjukkan buku kecil di tangannya. Buku itu selalu di bawahnya kemanapun dia pergi.
“Pembantaian kucing?” Sam kembali teringat kejadian di kampus dan perempuan bermasker.
“Iya. Ini cerita yang sangat mengharukan. Kucing-kucing dibantai dengan kejam oleh majikannya sendiri,” Maya bercerita dengan antusias. Sam memandang adiknya dengan curiga. Bagaimana bisa sama persis, batin Sam.
“Tapi anehnya, majikannya malah menangisi kematian kucingnya. Dia seolah merasa  kehilangan, namun sebenarnya dia menyukai pembantaian itu. Dia menikmatinya, seperti saat dia membelah perut ikan patin untuk dia masak pindang.” lanjut Maya. Sam kembali ingat peristiwa yang baru dilihatnya tadi, pembantaian kucing, dan gadis itu menangis. 
“Apakah mungkin gadis bermasker itu sendiri yang membunuh kucingnya?” batin Sam. Perutnya terasa mual membayangkan perut si kucing dibelah hidup-hidup. Sungguh kejam, gumam Sam dalam hati.
“Kakak kenapa?” tanya Maya. Sam mengelap hidungnya, hal yang biasa dia lakukan bila salah tingkah. Sam terlihat kikuk. 
“Oh, tidak. Kakak hanya sedikit kaget dengan cerita kamu. Nice story,” Sam menjawab asal. 
Maya tersenyum malu-malu.  Ini bukan pertama kalinya Sam memuji tulisannya. Beberapa bulan yang lalu Sam memuji tulisannya yang berjudul “Misteri Satpam Pasar” yang menceritakan tentang seorang satpam pasar yang mati bergelantungan di atas kelenteng tua terletak tepat di pinggiran sungai Musi. Memang terdengar sangat kriminal, tapi itulah Maya. Dia bisa membuat cerita menjadi seolah-olah nyata. Bahkan menjadi nyata. Sam memeluk adik semata wayangnya itu. Dalam hati ia berharap adiknya akan baik-baik saja.

Sam kembali terbangun dari tidurnya dan langsung memeriksa kamar adiknya. Kebiasaan ini seolah menjadi ritual yang amat penting dalam hidupnya semenjak Maya sering menghilang di malam hari beberapa tahun belakangan. Kamar Maya kosong, Sam berlarian keluar rumah. Di benak Sam hanya ada satu tempat, rumah berbukit!
Rumah panggung tua itu tampak sunyi. Tidak ada temaram lampu di terasnya. Yang ada hanya alunan pelan musik-musik klasik kesukaan Maya. Sam mencoba untuk masuk. Pintu tidak dikunci. Dilihatnya bercak-bercak darah berhamburan seperti tetesan tinta. Bau anyirnya menyengat. Sam mulai galau. Apa yang terjadi denganmu, Maya, batinnya. Sam masuk ke dalam rumah.
“Maya?” Sam berteriak kaget ketika melihat gadis yang berdiri membelakanginya sedang memegang pisau yang berlumur darah. Dia terlihat sangat ketakutan. Gadis itu berbalik, ternyata dia bukan Maya. Dia gadis bermasker itu!
“Apa yang kamu lakukan? Dimana Maya?” teriak Sam penuh amarah. Sam membuka semua pintu ruangan mencari adiknya. Sam terlihat seperti kerasukan. Dia sangat mengkhawatirkan adiknya. Seluruh ruangan kosong. Tak dia dapati adiknya di sana. Kemana Maya? Sam masuk ke ruang perpustakaan milik Maya. Buku-buku berserakan di sana sini padahal Sam tahu, Maya sangat menyukai buku-bukunya tersusun rapi. Apa tadi Maya terbangun dan menulis di sini, tapi dimana dia sekarang? Sam menemukan buku catatan yang sering Maya bawa terbuka. Buku itu mengundang perhatian. Pelan-pelan dia dekati buku itu, meraihnya. Matanya tiba-tiba perih. Cerita itu, cerita yang ditulis Maya tentang gadis bermasker, namun belum selesai.
Sam berbalik ke arah gadis bermasker. Gadis itu menyeret Maya yang berlumur darah dari bawah meja besar. Sepertinya dia hendak membuang Maya. Darah segar membekas seperti jalan setapak. 
“Maya?” lutut Sam langsung lemas melihat adiknya yang sudah terkapar tak berdaya. Sam memeriksa nadinya. Maya sudah tidak bernyawa. Wajahnya pucat, ketakutan.
“Apa yang kamu lakukan dengan Maya?” Sam menatap gadis bermasker dengan sinis. Kesabaran Sam telah menguap entah kemana. Baginya Maya adalah segalanya dalam hidup Sam.
Gadis itu menangis. Dia benar-benar menangis seolah kehilangan. Gadis itu menutupi kedua matanya dengan telapak tangan yang berlumur darah segar. Tetesan air mata yang bercampur darah segar terlihat seperti hujan darah yang sangat memilukan. Sam tampak kebingungan. 
“Aku telah membunuhnya….hiks,” gadis itu kembali menangis. Sam menamparnya, hendak memukulnya habis-habisan, tapi dia sadar gadis itu adalah seorang perempuan. Dia tidak boleh melakukan itu. Dia tidak ingin seperti ayahnya yang berperilaku kasar terhadap ibunya, memukulnya, menamparnya, menendangnya dan menembaknya. Maya dan Sam menyaksikan ibunya terkapar dan berlumur darah di hadapan ayahnya. Saat itu Sam tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa memeluk erat adiknya Maya yang mematung memandangi Ayahnya yang ketakutan. Dadanya berguncang hebat, tapi Maya tidak menangis. Maya tidak terlihat mengeluarkan air matanya. 
“Maafkan aku, Sam,” gadis itu kembali berbicara. 
“Aku sudah muak dengan cerita-cerita adikmu. Dia membunuh semua kucing dan kelinciku. Dia membunuh ayahku dan menggantungnya di atas kelenteng. Dan kau lihat ini, Sam,” gadis itu membuka maskernya. Mulut gadis itu terlihat sangat lebar, terbelah dari kuping ke kuping. Sam sangat kaget melihatnya.
“Ini semua ulah adikmu, hiks….” gadis itu kembali menangis. Kali ini dia menangis histeris. Mengobrak-abrik semua yang ada di sekitarnya. Sam ketakutan, tapi dia tidak percaya dengan apa yang gadis itu katakan. Sam kembali ingat cerita Maya. Majikan itu membunuh kucingnya dengan kejam. Tapi majikan itu menangis, seolah dia merasa kehilangan…
“Tidak! Kamu bohong! Maya tidak mungkin melakukan itu,” Sam berteriak. Suaranya parau.
“Kau perlu bukti?” gadis itu bergegas mengambil buku catatan milik Maya di dalam perpustakaan. Dia membuka lembar-lembarnya dengan paksa. 
“Adikmu yang psikopat itu ingin menyelesaikan ceritanya tentang aku, Sam. Kamu lihat ini, Sam!” gadis itu menunjukkan sebuah judul “Kuchisake-onna (Wanita Bermulut Robek)” kepada Sam.
***
Sam kembali membaca lembar demi lembar cerita yang adiknya tulis. Buku catatan itu semua berisi cerita-cerita yang menyeramkan, pembunuhan, pembantaian, dan pembedahan. Maya memerankan Silvi, gadis bermasker itu sebagai kuchisake-onna (wanita bermulut robek) sejenis siluman dalam mitologi dalam legenda urban Jepang.
Sam tergugu, dia gagal mendidik adiknya. Dia sama gagalnya dengan ayahnya yang gagal mendidik anak-anaknya. Namun hari ini, matahari tampak cerah. Seolah menyinari relung-relung hati Sam. Menghapus semua kekhawatirannya bila malam tiba.

Kamis, 06 Agustus 2015

An Orange Twillight

Flo kept running and running while she was crying.
She finally could run away from the hospital with infuse needle stick on her back hand. There was nothing on her mind except her best friend, Izi.
At a tea garden, that boy had been waiting so long. He united his hands to a fist and put it in front of his mouth. He looked at his watch on his left hand.
“I think she won’t come. I’m sorry pal, this is what I have to do.” and finally he surrendered and began to walk.
Meanwhile, Flo was still running. Her face was so pale. She slow down her steps when she saw her best friend lost from her sight.
“Izi!” Flo screamed as loud as she could. Izi looked back, then he smiled.
Flo ran again with the tears in her cheek. While Izi was just quiet, waiting for her best friend come.
“Izi, you are wicked!” Flo directly embraced her best friend. She was crying and crying. And Izi just smiled again.
“I thought you would never come.” Izi said.
“You are stupid! Why did you go away without telling me?” Flo lowered her voice.
“I’m sorry. I don’t want to make you sad. I expressly entrusted message to Aretha to tell you when I already left. Moreover, you were still staying at the hospital. I’m so sorry.”
Flo let off her embrace, “Exactly, that what made me more sad, you know?! Why did you have to go?”
“Yeah, Flo. I have to go, I know, I don’t want to go too. But this is my opportunity to go to Japan. Be calm, I will be back, trust me!” Izi tried to make his best friend calm.
“I know. Just go..”
Izi wiped Flo’s tears, “Flo, I promise, I will be back ten years later. Oh, as my best friend. I want you to keep this. Keep this camera, you can use it as long as I stay in Japan. Save more photos, after I back here.. I will dun. Deal?”
Flo startled, then she took the camera.
“So keep this camera. Don’t make any damage on it. ^_^ ”
They were silent for a while.
“Ok, I have to go now. The airplane will take off. Oh ya, one more thing.” Izi walked a little to the under of tea rows, then looked out upon Flo.
“Just for a memory, why don’t you take my picture? Come on!”
Flo saw the twilight became orange, she turned on the camera and started to take Izi’s picture with the perfect background.
“Ok, save it! I have to leave now, sayonara Flo!”
“…”
She smiled, “Sayonara, Izi.”

The End


Senin, 13 Juli 2015

Takut

Jam berdentang, *tik tak tik tak* dan aku hanya berdiam diri sambil melihat jarum jam bergerak. Aku memikirkan suatu hal yang mungkin banyak orang akan merasakan hal ini. Hal itu membuat aku kadang tidak bisa tidur, setiap hari selalu terpikirkan kata “Ketakutan”. Dari namanya saja aku sudah tidak mau mendengarnya lagi.

Aku dulu masih seperti orang-orang lain yang sangat mempunyai rasa takut. Setiap hari, diriku selalu dihampiri dengan hal yang menakutkan. Sebagai contoh, aku sangat takut dengan kamar mandi di rumahku. Awalnya aku takut karena kamar mandi itu gelap. Namun, saat ku nyalakan lampunya, akan terasa terang kan?

Hampir setiap hari aku ditinggal pergi oleh keluargaku untuk keluar rumah. Dan pastinya aku hanya sendiri di dalam rumah. Pada keadaan seperti itu, ketakutan semakin menghampiri diriku. Di sudut ruangan semua terasa sangat sepi, banyak yang tidak terbayangkan oleh ku. Yang aku pikirkan pada saat itu hanyalah rasa takut.

Di malam hari aku selalu mendapatkan hal-hal yang menakutkan, seperti aku melihat ada benda yang jatuh tetapi sebenarnya tidak ada, dan mendengar suara aneh tapi ternyata suara itu tidak ada. Jadi, apakah semua itu? Mengapa ini semakin membuat ku sangat takut?

Setiap hari aku memikirkan bagaimana cara menghilangkan hal itu dalam diriku. Tapi, aku masih seperti orang bodoh. Aku tidak bisa menghilangkan itu, mengapa ketakutan itu selalu datang kepadaku? Apakah ketakutan hanya datang pada orang bodoh sepertiku? Semua itu membuat tekad ku lebih kuat untuk menghilangkan rasa takut ini.

Pada akhirnya, di suatu hari aku berdiam diri di kamar, dan memikirkan mengapa aku bisa seperti itu? Aku berpikir terus menerus, dan sampai akhirnya aku menemukan masalah ku. Ternyata, semua ketakutan itu berasal dari pikiranku sendiri yang selalu memikirkan rasa takut yang berlebih.

Mungkin sebelumnya aku tidak mengerti bahwa pikiran dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dari situlah aku mulai berubah, setiap harinya aku selalu berpikir untuk tidak memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan ketakutan.
Aku benar-benar tidak percaya, semua itu berhasil.

Sebelumnya aku selalu berpikir akan rasa takut yang berlebih. Namun, akhirnya aku dapat memecahkan masalah ku ini. Sampai sekarang, rasa takut itu benar benar hilang dalam diri ku dan aku bebas dari “Ketakutan”.

Rabu, 13 Mei 2015

Kontrakanku


Secara tiba tiba dinding di ruang tengah bertingkat dua ini bergeter sehingga semua yang ada di dalamnya ikut merasakannya, dan  secara tiba-tiba pula bau kemenyan dan bunga kamboja kini mulai tersa menyengat membuat bulu kuduk kami pun merinding.

Memang jika dilihat dari luar, rumah yang memiliki 2 lantai ini dengan pekarangan yang luas, taman yang tertata rapi,dilengkapi pula dengan fasilitas kolam renang yang terletak di samping rumah ini, sehingga tampak begitu megah dan merupakan sebuah rumah idaman bagi siapapun yang melihatnya.
Namun dibalik kemegahan itu tersimpan misteri, rumah ini memang indah dan keindahan itupun menutupi kekurangan rumah ini. Begitu pula dengan kami berlima, Dijaman serba susah begini apalagi di Jakarta sebuah kota metropolitan yang semuanya serba mahal dan tiba-tiba ditawari sebuah kontrakan yang mewah tapi murah membuat kami tanpa bepikir panjang lagi langsung setuju untuk menandatangani kontrak dengan pemilik rumah.apalagi kami hanya mahasiswa yang berasal dari daerah yang masih bergantung paa orang tua, otomatis kami mencari sesuatu yang murah namun layak. Untuk mundurpun dari semuanya ini rasanya itupun tak mungkin, karna uang kontrakan itu rasanya sayang untuk disia-siakan.

Awalnya, aku tidak setuju atas usulan Mirna untuk memanggil dukun kerumah ini, namun teman teman yang lain menyetujuinya tanpa menyadari akan akibat dari perbuatan mereka, jadi apa boleh buat akupun menyetujuinya.

Embah dukun itu duduk bersilah menghadap ke salah satu sudut ruangan, sekali-kali terdengar semburan dari mulutnya menyemprotkan air ke sudut ruangan itu. Keempat temanku tampak begitu serius mengikuti perintah dukun tersebut terlihat dari raut wajah mereka kelihatan begitu tegang. Mbah dukun itupun tiada henti-hentinya membaca mantra, entah apa yang di bacanya akupun tidak tahu karna memang aku tidak berniat untuk mendekat padanya. Aku hanya melihatnya dari jauh, di tangga menuju lantai dua sebab aku tidak tahan dengan bau kemenyan itu, rasa-rasanya aku ingin muntah.
Namun tidak berapa lama ritual itupun selesai, mbah dukun itu pulang dengan peluh yang bercucuran di wajahnya dan keempat temanku pun tersenyum puas.
“kita akan hidup dengan tenang tanpa gangguan itu lagi” kata Lia.

Akupun hanya bisa tersenyum pasrah mendengarnya sambil berlalu ke dapur untuk mengambil makanan karna dari tadi sebenarnya aku lapar namun mbah dukun itu melarangku jauh-jauh dari tempat itu, takut kalau-kalau terjadi apa-apa padaku, katanya.
kini kami semua duduk di meja makan siap untuk makan setelah beberapa menit selesai shalat magrib. Sementara jam masih menunjukkan pukul 19:15, tapi entah dari mana datangnya tiba tiba terdengar  lolongan anjing , kami merasakan kembali kecaman itu dan semuanya terdiam membisu. Tiba-tiba adzan terdengar tandanya shalat isya pun akan segera dilaksanakan, dan secara tiba-tiba pula lolongan anjing itupun menghilang, membuat kami merasa lega. Malam ini tidak terjadi apa apa dan itu membuat temanku  berfikir  bahwa dukun itu telah berhasil mengusir para penghuni rumah ini. Namun, malam berikutnya mereka kembali membuat kami semua ketakutan dan parahnya lagi mereka kini memampakkan wujud mereka padahal selama ini mereka hanya mengganggu kami tanpa wujud. Dan malam itu adalah puncaknya.

Malam itu seperti biasa, kami pun tidur di kamar masing masing. Ekitar pukul 12:00 malam tiba tiba terdengar suara jeritan seorang wanita di lantai bawah tepatnya di kamar mandi. Aku fikir itu salah satu dari keempat temanku, maka akupun langsung keluar dari kamar dan berlari ke bawah, dan keempat temanku sudah berkumpul di dekat tangga, dan suara itu masih saja terus menjerit lalu kami pun saling pandang. Aku berfikir, kalau bukan diantara keempat temanku lalu itu suara siapa?. Dengan hati hati pun kami berjalan menuju kamar mandi, tapi tak seorang pun dari kami yang membuka pintu kamar mandi tersebut sampai akhirnya pintu itu terbuka dengan sendirinya.. Dan di dalam kamar mandi, seorang wanita berambut pirang tanpa busana bersandar pada tembok dengan pisau tertancap di dadanya dan tembus ke jantung dengan mata melotot, sementara dari hidung dan matanya mengalir darah segar, sambil tersenyum menyeringai kepada kami berlima. Tanpa fikir panjang lagi, kami semua menjerit. Bahkan Anis sampai pingsan, dan kami membawanya agak menjauh dari tempat itu. Tapi saat kami melihat kearah kamar mandi, tidak terjadi apa apa di sana. Air yang semula merah darah kini menjadi bening kembali.

Dan, entah kenapa tiba tiba lampu di rumah itu mati membuat kami semua ketakutan. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba bermunculan kepala kepala yang begitu banyak menyerang kami, semuanya memperlihatkan taring  tiba tiba mereka se akan akan kami adalah makanan lezat. Tiba tiba Mirna dan Susi ikut pingsan, aku dan Lia berusaha keluar dari kepala kepala tersebut. Saat mereka akan menyerang kami, kepela kepala tersebut berbalik arah menyerang Anis, Mirna dan Susi yang pingsan. Di depan mata ketiga teman kami dibunuh, tanpa kami bisa berbuat apa-apa.

Tanpa menunggu lagi aku dan Lia berlari meninggalkan tempat itu, namun kami dicegat oleh mahklukh yang sangat menyeramkan , tingginya melebihi tinggi manusia pada umumnyadan di sudut bibirnya tersembul sebuah taring yang runcing. Aku masih berusaha lari saat mahklukh tersebut menangkap Lia, namun langkahku terasa berat sekali sehingga mahlukh tersebut berhasi menangkapku setelah Lia ia bunuh. Aku sudah tak tahu apa yang terjadi saat mahlukh tersebut menancapkan taringnya ke leherku. Saat itupun aku tidak merasakan apa apa lagi.



Tiba-tiba aku terbangun….


Ternyata aku hanya mimpi.
Kulihat di sekelilingku semuanya tampak serba putih dan di sampingku kulihat mama tidur disisi ranjang, mungkin karna ia kelelahan menjagaku.merasakan aku bergerak mamapun terbangun.
“Syukurlah, kamu udah sadar saying”! Tanya mama.
“Apa yang terjadi ma, kenapa aku ada di rumah sakit”? tanyaku pada mama.
“Entahlah, mama sendiri tidak tahu saying, tapi Lia menelfon mama dari Bandung dan bilang kalau mereka kamu temukan pingsan di dapur saat kalian melihat-lihat tempat kontrakan” jawab mama.
“Tempat kontrakan……..!” aku berfikir.
“Oh ya ma, sudah berapa lama aku pingsan”! Tanyaku.
“2 hari, emangnya kenapa sayang” jawab mama.
“Trus dimana Lia dan yang lainnya sekarang, dan apakah perjanjian kontrak tersebut sudah ditandatangani” Tanyaku tanpa menjawab pertanyaan mama.
“Ya, perjanjiannya udah ditandatangani dan mereka sudah menempati rumah kontrakan kalian sejak kemarin, besok kamu juga akan mulai tinggal di sana jika dokter sudah mengijinkan kamu pulang” kata mama.

Tiba tiba aku merasakan sakit pada leherku dan saat kuraba ada dua lubang di sana seperti bekas gigitan!.........Strea